PERPUSTAKAAN NGUDI KAWRUH
Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image >

Pendidikan karakter di Indonesia Bag. II

0 komentar

Dengan cara bagaimana menerapkan pendidikan karakter di Indonesia ?

Ada beberapa pendapat, pendapat pertama dikemukakan oleh Dewi Hughes yang juga didukung oleh Ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur Daniel M Rosyd PhD, "Pendidikan karakter itu jangan seperti dulu lagi, seperti pendidikan Pancasila yang dimasukkan dalam mata pelajaran”,kata  artis yang juga praktisi pendidikan. Di sela-sela orientasi peningkatan kapasitas kelembagaan dan penyelenggaraan program pendidikan masyarakat di Surabaya, presenter berbagai mata acara televisi itu menilai pendidikan karakter tidak boleh ada secara khusus.
"Karakter itu enggak boleh khusus, tapi dimasukkan dalam kurikulum pada semua mata pelajaran, misalnya pendidikan budaya, agama, ekonomi, matematika, kewirausahaan, dan sebagainya," tutur pemilik PKBM/TBM E-Hughes itu.
Misalnya, pelajaran ekonomi atau kewirausahaan harus diberi "selipan" materi yang mengajarkan tentang kejujuran, kepercayaan, keberanian, dan sebagainya.
"Kalau pada pendidikan formal yang bersifat khusus seperti Pancasila atau budi pekerti, saya kira pendidikan karakter akan justru sulit masuk karena hanya menjadi pengetahuan atau hapalan,"ucapnya.Oleh karena itu, katanya, kurikulum untuk semua mata pelajaran harus diberi muatan tentang pendidikan karakter di dalamnya.
            Pendapat berikutnya dikemukakan oleh Satriawan : Ada dua (dua) hal yang seharusnya menjadi konsen pemerintah dan masyarakat pendidikan nasional. Pertama, yaitu bagaimana format baru dan efektif untuk mengembangkan pendidikan karakter tersebut. Orientasi pendidikan karakter yang lebih kepada dimensi etis-profetis, spritual, nilai-nilai moral menjadi keyword dalam pengembangannya di lapangan. Memang terjadi perdebatan apakah pendidikan karakter itu perlu berdiri sendiri (otonom) dalam struktur kurikulum nasional. Berarti menjadi mata pelajaran tersendiri di setiap satuan pendidikan. Atau pendidikan karakter lebih bersifat terintegrasi dengan mata pelajaran lainnya. Dua pilihan objektif inilah yang mestinya perlu dibaca kembali, baik oleh pemerintah maupun masyarakat pendidikan nasional. Berbicara format, ini bukanlah hal yang mudah karena kohern dengan pelaksanaan teknis oleh guru dan siswa di satuan pendidikan. Jika bersifat otonom, maka kita kembali mengulang sejarah, ketika mata pelajaran agama dan budi pekerti pernah terintegrasi dalam kurikulum nasional. Kemudian menjadi pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang substansinya adalah penanaman nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan. Namun pada akhirnya ini menjadi indoktrinasi ideologis rezim penguasa kala itu kepada rakyat. Dalam satuan pendidikan agamapun, dikenal pendidikan akhlak mulia yang bersifat otonom.
Jika terintegrasi dalam mata pelajaran tertentu, sebutlah pada pendidikan agama dan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) sebagai mata pelajaran yang bersinggungan secara filosofis dengan pendidikan karakter. Namun jika pendidikan karakter ”dibebankan” secara kurikulum hanya kepada kedua pelajaran ini maka bertambah berat tentu muatannya dan akan tumpang-tindih. Itu terjadi jika kita mempersepsikan pendidikan karakter lebih kepada formalitas-rigid an sich. Bukan memahami bahwa pendidikan karakter adalah sebuah visi, semangat, mental dan jiwa dari pendidikan nasional itu sendiri. Jika memilih bersifat otonom (seperti dalam satuan pendidikan agama yaitu pendidikan akhlak mulia), bagaimana format dan muatannya? Tentu akan terjadi tumpang-tindih kurikulum antara satuan pendidikan umum dengan agama, karena masing-masig memiliki muatan pendidikan karakter tersendiri.
Kedua, yang tak kalah petingnya yaitu pendekatan yang digunakan dalam pelaksanaan pendidikan karakter tersebut. Pendekatan yang diharapkan adalah sebuah instrumen yang efektif, bermakna dan mudah tersampaikan ke peserta didik dan setiap komponen di sekolah. Internalisasi nilai-nilai demokrasi, keadaban, etis-spritual, moral dan tanggung jawab menjadi fokus utama pendidikan karakter. Maka konsekuensi logisnya adalah terciptanya suatu school culture (budaya sekolah) yang ramah dan mengerti tentang ke-sekolahan-nya. Budaya sekolah yang terkonstruksi harus bersifat multiarah, yaitu suatu kombinasi horizontal antara warga sekolah, tidak terfokus hanya pada peserta didik. Peserta didik tak lagi menjadi subjek utama sebuah proses pembelajaran, tetapi telah meluas ruang geraknya. Guru, peserta didik, pegawai, petugas sekolah dan semua komponen yang ada di sekolah harus menjadi warga yang taat (good citizen) dan menjunjung nilai-nilai. Nilai-nilai diimplementasikan dari semua komponen, sehingga pendidikan karakter tersebut diaplikasikan secara holistik dan bertanggung jawab. Dalam sebuah pelajaran seorang guru bisa saja mencontohkan bahkan melakukan simulasi, tentang nilai-nilai kehidupan yang luhur. Guru jangan lagi terfokus kepada subjek pelajaran yang sifatnya kognitif oriented. Orientasi melulu kepada hafalan dan ingatan akan angka-angka atau definisi. Dalam struktur ilmu, yang mesti dipahami oleh guru yang mendidik dan siswa adalah key consep yang menjadi kuncinya. Ini yang harus dipahami oleh pendidik, jika key consep sudah dipahami peserta didik maka guru hanya tinggal mengarahkan saja, sesuai dengan target/capaian mata pelajaran.
Strategi pembinaan karakter, perlu didukung oleh tiga pilar yakni orang tua, sekolah, dan lingkungan. Dalam konteks tersebut, budaya paternalistik bisa dijadikan acuan, yakni orang yang lebih tua disegani oleh yang lebih muda. Melalui peran orang tua dan guru guru yang berwibawa, pendidikan karakter dapat ditanamkan.
Itulah beberapa pilihan dalam melaksanakan pendidikan karakter di Indonesia.

Resume UU No. 43 Tahun 2007

0 komentar

Garis Besar Undang-Undang Perpustakaan
Nomor 43 Tahun 2007

  1. Bab I tentang ketentuan umum yang berisi 4 pasal,pasal 1 hingga pasal 4. Yang intinya adalah membahas tentang Perpustakaan dari segi Intern (Perpustakaan itu sendiri) dan Ekstern (Masyarakat dan Pemerintah).
  2. Bab II tentang hak, kewajiban dan kewenangan yang berisi 6 pasal. Pasal 5 berisi tentang hak,pasal 6 hingga 8 berisi tentang kewajiban,dan pasal 9 hingga 10 berisi tentang kewenangan. Inti dari Bab II ini adalah Peran Perpustakaan bagi Masyarakat, Peran Masyarakat untuk perpustakaan, dan Peran Pemerintah.
  3. Bab III tentang standar perpustakaan yang terdiri hanya 1 pasal saja yaitu pasal 11.
yang isinya mencakup standarisasi Perpustakaan yang mencakup koleksi, pelayanan, fasilitas, tenaga perpustakaan, pengelolaan, dan penyelenggaraan.
  1. Bab IV tentang koleksi perpustakaan , Bab IV ini terdiri dari 2 pasal yaitu pasal 12 dan 13. Bab IV mencakup ketentuan koleksi apa saja yang boleh dikoleksi perpustakaan, dan juga tentang pengembangan koleksi tersebut.
  2. Bab V tentang layanan perpustakaan yang terdiri dari 1 pasal saja yaitu  pasal 14. Inti dari Pembahasan Bab V yaitu membahas tentang sistematis pelayanan perpustakaan.
  3. Bab VI tentang pembentukan,penyelenggaraan,serta pengelolaan dan pengembangan perpustakaan. Pada Bab  VI ini terdiri dari 5 pasal yaitu : pasal 15 yang menerangkan tentang pembentukan perpustakaan (Tujuan dibentuknya perpustakaan), pasal 16 dan 17 mambahas tentang penyelenggaraan perpustakaan (Penyelenggara bisa berarti Pemilik bisa juga pelaksana), Sedangkan pasal 18 dan 19 menjelaskan tentang pengelolaan dan pengembangan perpustakaan.
  4. Bab VII tentang jenis-jenis perpustakaan Bab VII ini juga hanya mempunyai 1 pasal yaitu pasal 20. Pada Bab ini membagi jenis Perpustakaan menjadi 5 jenis Perpustakaan.
  5. Bab VIII tentang tenaga perpustakaan,pendidikan dan organisasi profesi yang berisikan 9 pasal penjelas. Pasal 29 smpai 32 menjelaskan tentang tenaga perpustakaan, pasal 33 menjelaskan tentang pendidikan (untuk membina dan mengembangkan kemampuan pustakawan/tenaga perpustakaan), kemudian pasal 34 hingga pasal 37 menjelaskan tentang organisasi profesi (Bagan Organisasi sesuai profesi bidang keahlian masing-masing tenaga perpustakaan).
  6. Bab IX tentang sarana dan prasarana (Fasilitas Perpustakaan sebagai penunjang kebutuhan Pemustaka/pemakai) yang dijelaskan oleh pasal 38.
  7. Bab X tentang  pendanaan yang di jelaskan di pasal 39 hingga 41. Pengelolaan Dana, Sumber dana Perpustakaan (Manajemen Keuangan Perpustakaan).
  8. Bab XI tentang kerjasama dan peran serta masyarakat yang terdiri dari 2 pasal yaitu pasal 42 yang menjelaskan tentang kerjasama dan pasal 43 yang menjelasakan tentang peran serta masyarakat. Kerjasama Perpustakaan meliputi Intern (dari pihak Perpustakaan) dan ekstern (dengan Lembaga Lain termasuk dengan Masyarakat) dengan tujuan peningkatan Pelayanan kepada Pemustaka.
  9. Bab XII tentang dewan perpustakaan yang terdiri dari 4 pasal penjelas yaitu pasal 44 hingga pasal 47.
  10. Bab XIII tentang pembudayaan kegemaran membaca yang terdiri dari 4 pasal pejelas yaitu pasal 48 hingga pasal 51. Perpustakaan berperan dalam mewujudkan Budaya Gemar membaca sehingga dapat terwujud masyarakat yang cerdas dan terampil termasuk juga langkah-langkah perpustakaan dalam meningkatkan minat baca masyarakat, Serta Peran Perpustakaan dalam memberantas Buta Huruf.
  11. Bab XIV tentang ketentuan sanksi yang di jelaskan di pasal 52. yaitu tentang sanksi yang diberikan pada perpustakaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana mestinya, sanksi tersebut diatur dalam peraturan pemerintah.
  12. Bab XV tentang ketentuan penutup yang terdiri dari 2 pasal yaitu pasal 53 dan 54.

Pendidikan karakter di Indonesia Bag. I

0 komentar

          Pendidikan karakter mengajarkan kebiasaan cara berpikir dan perilaku yang membantu individu untuk hidup dan bekerja bersama sebagai keluarga, masyarakat, dan bernegara dan membantu mereka untuk membuat keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan kata lain pendidikan karakter mengajarkan kepada siswa berpikir cerdas, mengaktivasi otak tengah secara alami (Yahya khan, 2010).
            Selanjutnya Yahya khan membagi pendidikan karakter menjadi 4 jenis sebagai berikut:
1.      Pendidikan karakter berbasis nilai religious, yang merupakan kebenaran wahyu Tuhan (konservasi moral)
2.      Pendidikan karakter berbasis nilai budaya, antara lain yang berupa budi pekerti, pancasila, apresiasi sastra, keteladanan tokoh-tokoh sejarah dan para pemimpin bangsa (konservasi teladan)
3.      Pendidikan karakter berbasis lingkungan ( konservasi lingkungan)
4.      Pendidikan karakter berbasis potensi diri, yaitu sikap pribadi, hasilproses kesadaran pemberdayaan potensi diri yang diarahkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan (konservasi humanis)
Pendidikan karakter berbasis potensi diri adalah proses kegiatan yang dilakukan dengan segala daya upaya (1) secara sadar dan terencana untuk mengarahkan anak didik agar mereka mampu mengatasi diri (2) melalui kebebasan (3) dan penalaran (4) serta mengembangkan segala potensi diri (5) yang dimiliki anak didik( Yahya Khan , 2010).
Pendidikan karakter berbasis potensi diri merupakan proses  kegiatan yang mengarah pada peningkatan kualitas pendidikan dan pengembangan budaya harmoni yang selalu mengajarkan, membimbing, dan membina setiap manusia untuk memiliki kompetensi intelektual (kognitif), karakter (Affevtive) dan kompetensi ketrampilan mekanik (Psychomotoric).
Saat ini pendidikan nilai perlu dan penting untuk ditawarkan kepada peserta didik untuk mengimbangi pembelajarn yang selama ini lebih berat kearah penguasaan kompetensi intelektual (kognitif). Pendidikan nilai adalah daya upaya untuk membina, membiasakan, mengembangkan dan membentuk sikap serta memperteguh watak untuk menjadi manusia yang erkarakter. Nilai adalah potensi yang dimiliki seorang manusia yang diperoleh melalui pembinaan, pembiasaan dan berkembang membentuk sikap serta memperteguh jiwa raga menjadi suatu karakter.
Gagasan dasar tentang Pendidikan Karakter secara umum sesungguhnya bukan hal yang baru bagi pembentukan watak di Indonesia. Pendidik modern Indonesia tempo dulu yang dikenal seperti R.A Kartini, Ki Hajar Dewantoro.Soekarno,Hatta,Tan Malaka,Moh.Natsir telah berdaya upaya untuk menerapkan Pendidikan Karakter sebagai sarana membentuk watak dan identitas bangsa Indonesia. Namun Pendidikan karakter di Indonesia belum ditangani secara serius. Hampir semua mata pelajaran/mata kuliah sampai saat ini mengevaluasi kompetensi kognitif, sedangkan evaluasi karakter (afektif) belum dikelola secara sungguh-sungguh (Yahya Khan,2010)