PERPUSTAKAAN NGUDI KAWRUH
Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image >

Jadwal Imsakiyah Ramadhan

0 komentar

Hallooo,,,gak terasa udah masuk Bulan Ramdhan, bagi yang belom tau jadwal waktu imsak, buka, dan sholat bisa di lihat dibawah ini.
Monggo ^_^








Pahlawan Modern

0 komentar

"Bukan cuma kepahlawanan yang menghancurkan musuh,
tapi juga yang mensejahterakan sesama."

(KEPAHLAWANAN YANG KREATIF)

Oleh: Bambang Utomo*)




    BANYAK orang berbicara--bahkan kerap berdebat--tentang berbagai hal, tanpa menyadari bahwa kata-kata yang dipakainya berbeda maknanya bagi masing-masing. Salah satu contohnya adalah arti kata 'pahlawan' – yang tetap relevan kita kaji-ulang setiap kali merayakan Hari Pahlawan 10 November di negeri kita.

Pertama, mari kita renungkan hakikat di balik ajakan berikut: "Saudara-saudara sekalian, marilah kita sejenak mengheningkan cipta--atau berdoa menurut agama masing-masing--bagi arwah para pahlawan yang telah gugur mendahului kita...."

Siapa di antara kita yang tidak ingat kalimat ajakan di atas? Hampir setiap kali menghadiri upacara resmi, ritual tersebut selalu termasuk paket acara perayaan yang bersangkutan. Namun tulisan ini bukan ingin mengajak para pembaca mengheningkan cipta, melainkan memikirkan ulang makna konsep kepahlawanan yang kita anut secara lebih kreatif. Keperluan terhadapnya muncul berhubung tersimak oleh saya betapa sangat terbatasnya kata 'kepahlawanan' itu diartikan orang selama ini.

Tersirat dalam ajakan mengheningkan cipta di atas suatu arah penafsiran, bahwa yang disebut ‘pahlawan’ terutama adalah mereka yang telah gugur atau anumerta. Tafsiran tersirat itu bahkan diperkuat lagi oleh ketetapan resmi tentang kriteria pahlawan sebagaimana tersurat dalam peraturan Pemerintah tentang Penetapan Penghargaan dan Pembinaan terhadap Pahlawan, yaitu:

1) Warga Negara Republik Indonesia yang telah meninggal dunia dan semasa hidupnya telah memimpin dan melakukan perjuangan bersenjata atau perjuangan politik atau perjuangan dalam bidang lain untuk mencapai/ merebut/ mempertahankan/ mengisi kemerdekaan serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa. Calon juga telah melahirkan gagasan atau pemikiran besar yang dapat menunjang pembangunan bangsa dan negara dan telah menghasilkan karya besar yang mendatangkan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat luas atau meningkatkan harkat dan martabat bangsa Indonesia.

2) Pengabdian dan perjuangan yang dilakukannya berlangsung hampir sepanjang hidupnya (tidak sesaat) dan melebihi tugas yang diembannya.

3) Perjuangan yang dilakukannya mempunyai jangkauan luas dan berdampak nasional.

4) Memiliki konsistensi jiwa dan semangat kebangsaan/ nasionalisme yang tinggi.

5) Memiliki akhlak dan moral keagamaan yang tinggi.

6) Tidak pernah menyerah pada lawan/ musuh dalam perjuangan.

7) Dalam riwayat hidupnya tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang dapat merusak nilai perjuangannya.

Di situ jelas disebutkan pada syarat pertama, "Warga Negara Republik Indonesia yang telah meninggal dunia dan semasa hidupnya telah memimpin dan melakukan perjuangan bersenjata atau perjuangan politik atau perjuangan dalam bidang lain untuk mencapai/merebut/mempertahankan/mengisi kemerdekaan serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa….”

Meskipun pahlawan bisa juga termasuk mereka yang masih hidup, yang tindak kepahlawanannya tidak ternoda sepanjang kehidupan selanjutnya, namun hanya mereka yang telah meninggal dunia yang lebih diakui sebagai pahlawan. Bisa Anda bayangkan, betapa sulitnya syarat menjadi ‘pahlawan’ di negeri kita.

Arah penafsiran kedua yang juga tersirat dalam ketetapan di atas tak kurang janggalnya. Yaitu bahwa: kepahlawanan cenderung dikaitkan dengan jatuhnya korban akibat upaya membela sesuatu pihak (negara atau bangsa), yang tentunya juga mengasumsikan kehadiran pihak lawan, serta pada gilirannya kegiatan
menghancur-leburkan musuh tersebut. Terkandung jelas dalam sebagian penafsiran tersebut adanya unsur konflik, atau situasi Menang-Kalah, di mana untuk bisa membuktikan kepahlawanan pihak KITA, diperlukan jatuhnya korban di pihak MEREKA!

Keadilan Tandingan

Mengenai arah penafsiran tersebut pertama, bahwa hanya mereka yang anumertalah yang pantas disebut pahlawan, ingin saya bandingkan dengan pengejawantahan konsep ‘keadilan’ yang umumnya kita anut. Ibarat mata uang, peradaban keadilan kita sejauh ini baru berkembang ke salah satu sisinya semata: menghukum barangsiapa yang bersalah kepada sesama. Ada pun sisi tandingannya, menghargai mereka yang berjasa kepada masyarakat, cenderung kita abaikan. Anda ingin bukti?

Coba ingat-ingat manakala ada maling tertangkap tangan di sekitar kita. Tidak sedikit saksi mata yang spontan ingin jadi Hakim, bahkan beramai-ramai jadi ’Algojo’ (yang luar biasa sadisnya!). Namun sebaliknya, kalau ada orang-orang yang terbukti berjasa kepada kita semua...jarang ada yang serta-merta memberi ganjaran. Ya, entah sejak kapan kita kenal dan terus kelola Lapas di Pulau Nusakambangan. Tapi mana ’Taman Firdaus’ yang kita sediakan khusus bagi pahlawan-pahlawan yang masih hidup di masyarakat? Bukan, sekali lagi, yang saya maksud bukan Taman Pahlawan bagi mereka yang telah gugur; yang sudah lama ada di mana-mana. Juga bukan jenis-jenis ’sorga dunia’ yang biasa kita jual—dengan harga sangat mahal--ke pihak mana pun yang sanggup bayar. Taman Firdaus yang hendak saya canangkan adalah semacam lembaga tandingan dari penjara, di mana anggota masyarakat yang terbukti berprestasi tinggi dapat berkumpul dalam suasana kehidupan yang menunjang pelestarian karya-karya sosial mereka secara optimal.

Tetapi di sini bukan tempatnya pula untuk melanjutkan khayalan di atas lebih jauh. Lontaran ide perlunya Taman Firdaus juga kita selenggarakan di dunia kini, bukan cuma menunggu apa yang dijanjikanNya di akhirat nanti, adalah untuk meninjau-ulang sikap masyarakat kita yang umumnya kurang berkenan terhadap penghargaan secara material kepada para pahlawan. Bahkan kita selalu diingatkan oleh nasehat leluhur: ”Berbuat baik itu harus ikhlas, tak boleh disertai pamrih duniawi apa pun (anehnya kalau harapan akan imbalan yang akhirati tidak dilarang)”. Padahal ilmu psikologi telah lama membuktikan, bahwa terlepas dari doktrin moral yang dianutnya, perilaku manusia senantiasa terikat pada kecenderungan ’mengejar-kenikmatan-dan-menjauhi penderitaan’ - secara Lahir maupun Bathin..Dengan kata lain, boleh-boleh saja kita menganugerahi seperangkat gelar kehormatan, menyematkan bintang dan tanda jasa, atau mengabadikan nama si pelaku sebagai nama jalan. Tapi kalau suatu bangsa sampai membiarkan para pahlawannya yang masih hidup ’kelaparan’--sengaja maupun alpa--jangan heran jika jumlah dan frekuensi tindak kepahlawanan yang terjadi di masyarakat yang bersangkutan semakin surut.

Sayang kita tidak tahu, karena sejarah belum pernah mencatat, berapa banyak pahlawan di sekitar kita yang terlanjur kecewa, dan lalu menghentikan prestasi sosialnya? Dan berapa yang kemudian berubah lugas sikapnya: memilih mengabdikan keunggulan kemampuannya bagi kepentingan pihak pemberi upah tertinggi - siapa pun adanya kaum majikan itu? Atau malah ’desersi’, pindah bermukim ke lingkungan masyarakat atau bangsa lain di mana prestasi sosial mereka secara layak dihargai, diakui peranannya serta ditunjang kelestariannya?

Kepahlawanan Baru

Kesimpulan pertama yang hendak saya tarik dari semua uraian di atas adalah: perlunya kita bersama-sama melengkapi, bukan mengganti, kecenderungan berpikir kritis yang telah begitu lama mewarnai tradisi intelektual kita dengan pemikiran kreatif. Hasil dari alternatif sudut pandang baru yang muncul diharapkan bisa kian memperkaya makna berbagai konsep yang kita anut, termasuk: kepahlawanan.

Kedua, melalui kesempatan ini pula saya ingin mengimbau kesukarelaan masyarakat luas untuk lebih menghargai para pahlawan yang masih hidup di antara kita; baik secara moril lewat pemberian berbagai tanda kehormatan, maupun tak kalah penting secara material. Pentingnya hal tersebut belakangan bukan sekadar untuk menjamin kehidupan yang layak bagi si pelaku berserta keluarganya, atau semata-mata hendak mencegah sang pahlawan kecewa dan lalu ’desersi’. Tapi justru demi melestarikan pretasi sosial itu sendiri. Jangan sampai kita lupa, bahwa para pahlawan itu adalah manusia-manusia yang masih hidup di dunia fana, belum kembali ke alam baka.

Sebagai penutup, berikut ini saya coba rangkum ciri-ciri konsep Kepahlawanan Baru yang saya canangkan di sepanjang tulisan di atas. Yaitu: kepahlawanan yang lebih mengutamakan perwujudan dan pelestarian berbagai prestasi sosial demi semakin memajukan (prosperity) kehidupan bersama, ketimbang sekedar menjaga kelangsungan hidup (survival) masyarakat. Kepahlawanan yang juga bisa berlangsung dalam situasi damai dan tidak mensyaratkan kehadiran musuh mana pun di mana semua pihak bakal memperoleh manfaat - lebih dari tipe kepahlawanan destruktif yang menuntut modus operandi situasi konflik serta jatuhnya korban di pihak musuh.

Kepahlawanan yang tidak mengecilkan nilai penghormatan terhadap para pahlawan yang sudah tiada, tapi memberi tempat selayaknya pula kepada mereka yang masih hidup - tanpa pandang bulu. Kepahlawanan yang menyadari perlunya keseimbangan antara pemberian simbol-simbol penghormatan di satu pihak, dengan jaminan hidup layak serta subsidi nyata untuk terus berkarya di pihak lain - demi melestarikan prestasi sosial yang bersangkutan. Dan yang terakhir--meski tak kalah penting--kepahlawanan yang tidak mengharapkan para pelakunya menjadi Superman tanpa cacat yang tak mungkin berbuat khilaf di kemudian hari, melainkan: manusia-manusia bersahaja yang senantiasa perlu dirangsang prestasi sosialnya.@

(KOMPAS, Selasa, 10 November 1987)


______________
Bambang Utomo adalah seorang penulis-lepas dan pemandu pelatihan/kursus ‘Berpikir Kreatif’ di Cianjur – Jawa Barat. Artikel daur-ulang ini adalah sumbangan pikiran dalam rangka ikut menyambut “Hari Pahlawan 10 November 2010”.

Kisah Alergi Hidup

0 komentar

Seorang pria mendatangi seorang Guru. Katanya : "Guru, saya sudah bosan hidup. Benar-benar jenuh. Saya memandang apa yang ada di sekeliling saya semuanya tidak menyenangkan. Rumah tangga saya berantakan. Usaha saya kacau. Bawahan saya semua menyebalkan.Apapun yang saya lakukan selalu gagal. Saya ingin mati".

Sang Guru tersenyum : "Oh, kamu sakit".

"Tidak Guru, saya tidak sakit. Saya sehat. Hanya jenuh dengan kehidupan. Itu sebabnya saya ingin mati".

Seolah-olah tidak mendengar pembelaannya, sang Guru meneruskan : "Kamu sakit. Penyakitmu itu bernama "Alergi Hidup". Ya, kamu alergi terhadap kehidupan. Banyak sekali di antara kita yang alergi terhadap kehidupan. Kemudian, tanpa disadari kita melakukan hal-hal yang bertentangan dengan norma kehidupan. Hidup ini berjalan terus. Sungai kehidupan ini mengalir
terus, tetapi kita menginginkan keadaan status-quo. Kita berhenti di tempat, kita tidak ikut mengalir. Itu sebabnya kita jatuh sakit. Kita mengundang penyakit. Penolakan kita untuk ikut mengalir bersama kehidupan membuat kita sakit. Usaha pasti ada pasang-surutnya. Dalam berumah-tangga, pertengkaran kecil itu memang wajar. Persahabatan pun tidak selalu langgeng. Apa sih yang abadi dalam hidup ini ? Kita tidak menyadari sifat kehidupan. Kita ingin mempertahankan suatu keadaan. Kemudian kita gagal, kecewa dan menderita".

"Penyakitmu itu bisa disembuhkan, asal kamu benar-benar bertekad ingin sembuh dan bersedia mengikuti petunjukku", kata sang Guru.

"Tidak Guru, tidak. Saya sudah betul-betul jenuh. Tidak, saya tidak ingin hidup lebih lama lagi", pria itu menolak tawaran sang Guru.

"Jadi kamu tidak ingin sembuh. Kamu betul-betul ingin mati ?", tanya Guru.


"Ya, memang saya sudah bosan hidup", jawab pria itu lagi.

"Baiklah. Kalau begitu besok sore kamu akan mati. Ambillah botol obat ini... Malam nanti, minumlah separuh isi botol ini. Sedangkan separuh sisanya kau minum besok sore jam enam. Maka esok jam delapan malam kau akan mati dengan tenang".

Kini, giliran pria itu menjadi bingung. Sebelumnya, semua Guru yang ia datangi selalu berupaya untuk memberikan semangat hidup. Namun, Guru yang satu ini aneh. Alih-alih memberi semangat hidup, malah menawarkan racun. Tetapi, karena ia memang sudah betul-betul jenuh, ia menerimanya dengan senang hati.

Setibanya di rumah, ia langsung menghabiskan setengah botol racun yang disebut "obat" oleh sang Guru tadi. Lalu, ia merasakan ketenangan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Begitu rileks, begitu santai ! Tinggal satu malam dan satu hari ia akan mati. Ia akan terbebaskan dari segala macam masalah.

Malam itu, ia memutuskan untuk makan malam bersama keluarga di restoran Jepang. Sesuatu yang tidak pernah ia lakukan selama beberapa tahun terakhir. Ini adalah malam terakhirnya. Ia ingin meninggalkan kenangan manis. Sambil makan, ia bersenda gurau. Suasananya amat harmonis. Sebelum tidur, ia mencium istrinya dan berbisik, "Sayang, aku mencintaimu". Sekali lagi, karena malam itu adalah malam terakhir, ia ingin meninggalkan kenangan manis.

Esoknya, sehabis bangun tidur, ia membuka jendela kamar dan melihat ke luar. Tiupan angin pagi menyegarkan tubuhnya. Dan ia tergoda untuk melakukan jalan pagi. Setengah jam kemudian ia kembali ke rumah, ia menemukan istrinya masih tertidur. Tanpa membangunkannya, ia masuk dapur dan membuat dua cangkir kopi. Satu untuk dirinya, satu lagi untuk istrinya. Karena pagi itu adalah pagi terakhir, ia ingin meninggalkan kenangan manis! Sang istripun merasa aneh sekali dan berkata : "Sayang, apa yang terjadi hari ini ? Selama ini, mungkin aku salah. Maafkan aku sayang".

Di kantor, ia menyapa setiap orang, bersalaman dengan setiap orang. Stafnya pun bingung, "Hari ini, Bos kita kok aneh ya ?" Dan sikap mereka pun langsung berubah. Mereka pun menjadi lembut. Karena siang itu adalah siang terakhir, ia ingin meninggalkan kenangan manis! Tiba-tiba, segala sesuatu di sekitarnya berubah. Ia menjadi ramah dan lebih toleran, bahkan menghargai terhadap pendapat-pendapat yang berbeda. Tiba-tiba hidup menjadi indah. Ia mulai menikmatinya.

Pulang ke rumah jam 5 sore, ia menemukan istri tercinta menungguinya di beranda depan. Kali ini justru sang istri yang memberikan ciuman kepadanya sambil berkata : "Sayang, sekali lagi aku minta maaf, kalau selama ini aku selalu merepotkan kamu". Anak-anak pun tidak ingin ketinggalan : "Ayah, maafkan kami semua. Selama ini, ayah selalu tertekan karena perilaku kami".

Tiba-tiba, sungai kehidupannya mengalir kembali. Tiba-tiba, ia memandang hidup ini menjadi sangat indah. Ia mengurungkan niatnya untuk bunuh diri. Tetapi bagaimana dengan setengah botol yang sudah ia minum, sore sebelumnya ?

Ia mendatangi sang Guru lagi. Melihat wajah pria itu, rupanya sang Guru langsung mengetahui apa yang telah terjadi dan berkata : "Buang saja botol itu. Isinya air biasa. Kau sudah sembuh. Apabila kau hidup dalam kekinian, apabila kau hidup dengan kesadaran bahwa maut dapat menjemputmu kapan saja, maka kau akan menikmati setiap detik kehidupan. Leburkan egomu, keangkuhanmu, kesombonganmu. Jadilah lembut, selembut air. Dan mengalirlah bersama sungai kehidupan. Kau tidak akan jenuh, tidak akan bosan. Kau akan merasa hidup. Itulah rahasia kehidupan. Itulah kunci kebahagiaan. Itulah jalan menuju ketenangan".

Pria itu mengucapkan terima kasih dan menyalami Sang Guru, lalu pulang ke rumah, untuk mengulangi pengalaman malam sebelumnya. Konon, ia masih mengalir terus. Ia tidak pernah lupa hidup dalam kekinian. Itulah
sebabnya, ia selalu bahagia, selalu tenang, selalu HIDUP !

Pendidikan karakter di Indonesia Bag. II

0 komentar

Dengan cara bagaimana menerapkan pendidikan karakter di Indonesia ?

Ada beberapa pendapat, pendapat pertama dikemukakan oleh Dewi Hughes yang juga didukung oleh Ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur Daniel M Rosyd PhD, "Pendidikan karakter itu jangan seperti dulu lagi, seperti pendidikan Pancasila yang dimasukkan dalam mata pelajaran”,kata  artis yang juga praktisi pendidikan. Di sela-sela orientasi peningkatan kapasitas kelembagaan dan penyelenggaraan program pendidikan masyarakat di Surabaya, presenter berbagai mata acara televisi itu menilai pendidikan karakter tidak boleh ada secara khusus.
"Karakter itu enggak boleh khusus, tapi dimasukkan dalam kurikulum pada semua mata pelajaran, misalnya pendidikan budaya, agama, ekonomi, matematika, kewirausahaan, dan sebagainya," tutur pemilik PKBM/TBM E-Hughes itu.
Misalnya, pelajaran ekonomi atau kewirausahaan harus diberi "selipan" materi yang mengajarkan tentang kejujuran, kepercayaan, keberanian, dan sebagainya.
"Kalau pada pendidikan formal yang bersifat khusus seperti Pancasila atau budi pekerti, saya kira pendidikan karakter akan justru sulit masuk karena hanya menjadi pengetahuan atau hapalan,"ucapnya.Oleh karena itu, katanya, kurikulum untuk semua mata pelajaran harus diberi muatan tentang pendidikan karakter di dalamnya.
            Pendapat berikutnya dikemukakan oleh Satriawan : Ada dua (dua) hal yang seharusnya menjadi konsen pemerintah dan masyarakat pendidikan nasional. Pertama, yaitu bagaimana format baru dan efektif untuk mengembangkan pendidikan karakter tersebut. Orientasi pendidikan karakter yang lebih kepada dimensi etis-profetis, spritual, nilai-nilai moral menjadi keyword dalam pengembangannya di lapangan. Memang terjadi perdebatan apakah pendidikan karakter itu perlu berdiri sendiri (otonom) dalam struktur kurikulum nasional. Berarti menjadi mata pelajaran tersendiri di setiap satuan pendidikan. Atau pendidikan karakter lebih bersifat terintegrasi dengan mata pelajaran lainnya. Dua pilihan objektif inilah yang mestinya perlu dibaca kembali, baik oleh pemerintah maupun masyarakat pendidikan nasional. Berbicara format, ini bukanlah hal yang mudah karena kohern dengan pelaksanaan teknis oleh guru dan siswa di satuan pendidikan. Jika bersifat otonom, maka kita kembali mengulang sejarah, ketika mata pelajaran agama dan budi pekerti pernah terintegrasi dalam kurikulum nasional. Kemudian menjadi pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang substansinya adalah penanaman nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan. Namun pada akhirnya ini menjadi indoktrinasi ideologis rezim penguasa kala itu kepada rakyat. Dalam satuan pendidikan agamapun, dikenal pendidikan akhlak mulia yang bersifat otonom.
Jika terintegrasi dalam mata pelajaran tertentu, sebutlah pada pendidikan agama dan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) sebagai mata pelajaran yang bersinggungan secara filosofis dengan pendidikan karakter. Namun jika pendidikan karakter ”dibebankan” secara kurikulum hanya kepada kedua pelajaran ini maka bertambah berat tentu muatannya dan akan tumpang-tindih. Itu terjadi jika kita mempersepsikan pendidikan karakter lebih kepada formalitas-rigid an sich. Bukan memahami bahwa pendidikan karakter adalah sebuah visi, semangat, mental dan jiwa dari pendidikan nasional itu sendiri. Jika memilih bersifat otonom (seperti dalam satuan pendidikan agama yaitu pendidikan akhlak mulia), bagaimana format dan muatannya? Tentu akan terjadi tumpang-tindih kurikulum antara satuan pendidikan umum dengan agama, karena masing-masig memiliki muatan pendidikan karakter tersendiri.
Kedua, yang tak kalah petingnya yaitu pendekatan yang digunakan dalam pelaksanaan pendidikan karakter tersebut. Pendekatan yang diharapkan adalah sebuah instrumen yang efektif, bermakna dan mudah tersampaikan ke peserta didik dan setiap komponen di sekolah. Internalisasi nilai-nilai demokrasi, keadaban, etis-spritual, moral dan tanggung jawab menjadi fokus utama pendidikan karakter. Maka konsekuensi logisnya adalah terciptanya suatu school culture (budaya sekolah) yang ramah dan mengerti tentang ke-sekolahan-nya. Budaya sekolah yang terkonstruksi harus bersifat multiarah, yaitu suatu kombinasi horizontal antara warga sekolah, tidak terfokus hanya pada peserta didik. Peserta didik tak lagi menjadi subjek utama sebuah proses pembelajaran, tetapi telah meluas ruang geraknya. Guru, peserta didik, pegawai, petugas sekolah dan semua komponen yang ada di sekolah harus menjadi warga yang taat (good citizen) dan menjunjung nilai-nilai. Nilai-nilai diimplementasikan dari semua komponen, sehingga pendidikan karakter tersebut diaplikasikan secara holistik dan bertanggung jawab. Dalam sebuah pelajaran seorang guru bisa saja mencontohkan bahkan melakukan simulasi, tentang nilai-nilai kehidupan yang luhur. Guru jangan lagi terfokus kepada subjek pelajaran yang sifatnya kognitif oriented. Orientasi melulu kepada hafalan dan ingatan akan angka-angka atau definisi. Dalam struktur ilmu, yang mesti dipahami oleh guru yang mendidik dan siswa adalah key consep yang menjadi kuncinya. Ini yang harus dipahami oleh pendidik, jika key consep sudah dipahami peserta didik maka guru hanya tinggal mengarahkan saja, sesuai dengan target/capaian mata pelajaran.
Strategi pembinaan karakter, perlu didukung oleh tiga pilar yakni orang tua, sekolah, dan lingkungan. Dalam konteks tersebut, budaya paternalistik bisa dijadikan acuan, yakni orang yang lebih tua disegani oleh yang lebih muda. Melalui peran orang tua dan guru guru yang berwibawa, pendidikan karakter dapat ditanamkan.
Itulah beberapa pilihan dalam melaksanakan pendidikan karakter di Indonesia.

Resume UU No. 43 Tahun 2007

0 komentar

Garis Besar Undang-Undang Perpustakaan
Nomor 43 Tahun 2007

  1. Bab I tentang ketentuan umum yang berisi 4 pasal,pasal 1 hingga pasal 4. Yang intinya adalah membahas tentang Perpustakaan dari segi Intern (Perpustakaan itu sendiri) dan Ekstern (Masyarakat dan Pemerintah).
  2. Bab II tentang hak, kewajiban dan kewenangan yang berisi 6 pasal. Pasal 5 berisi tentang hak,pasal 6 hingga 8 berisi tentang kewajiban,dan pasal 9 hingga 10 berisi tentang kewenangan. Inti dari Bab II ini adalah Peran Perpustakaan bagi Masyarakat, Peran Masyarakat untuk perpustakaan, dan Peran Pemerintah.
  3. Bab III tentang standar perpustakaan yang terdiri hanya 1 pasal saja yaitu pasal 11.
yang isinya mencakup standarisasi Perpustakaan yang mencakup koleksi, pelayanan, fasilitas, tenaga perpustakaan, pengelolaan, dan penyelenggaraan.
  1. Bab IV tentang koleksi perpustakaan , Bab IV ini terdiri dari 2 pasal yaitu pasal 12 dan 13. Bab IV mencakup ketentuan koleksi apa saja yang boleh dikoleksi perpustakaan, dan juga tentang pengembangan koleksi tersebut.
  2. Bab V tentang layanan perpustakaan yang terdiri dari 1 pasal saja yaitu  pasal 14. Inti dari Pembahasan Bab V yaitu membahas tentang sistematis pelayanan perpustakaan.
  3. Bab VI tentang pembentukan,penyelenggaraan,serta pengelolaan dan pengembangan perpustakaan. Pada Bab  VI ini terdiri dari 5 pasal yaitu : pasal 15 yang menerangkan tentang pembentukan perpustakaan (Tujuan dibentuknya perpustakaan), pasal 16 dan 17 mambahas tentang penyelenggaraan perpustakaan (Penyelenggara bisa berarti Pemilik bisa juga pelaksana), Sedangkan pasal 18 dan 19 menjelaskan tentang pengelolaan dan pengembangan perpustakaan.
  4. Bab VII tentang jenis-jenis perpustakaan Bab VII ini juga hanya mempunyai 1 pasal yaitu pasal 20. Pada Bab ini membagi jenis Perpustakaan menjadi 5 jenis Perpustakaan.
  5. Bab VIII tentang tenaga perpustakaan,pendidikan dan organisasi profesi yang berisikan 9 pasal penjelas. Pasal 29 smpai 32 menjelaskan tentang tenaga perpustakaan, pasal 33 menjelaskan tentang pendidikan (untuk membina dan mengembangkan kemampuan pustakawan/tenaga perpustakaan), kemudian pasal 34 hingga pasal 37 menjelaskan tentang organisasi profesi (Bagan Organisasi sesuai profesi bidang keahlian masing-masing tenaga perpustakaan).
  6. Bab IX tentang sarana dan prasarana (Fasilitas Perpustakaan sebagai penunjang kebutuhan Pemustaka/pemakai) yang dijelaskan oleh pasal 38.
  7. Bab X tentang  pendanaan yang di jelaskan di pasal 39 hingga 41. Pengelolaan Dana, Sumber dana Perpustakaan (Manajemen Keuangan Perpustakaan).
  8. Bab XI tentang kerjasama dan peran serta masyarakat yang terdiri dari 2 pasal yaitu pasal 42 yang menjelaskan tentang kerjasama dan pasal 43 yang menjelasakan tentang peran serta masyarakat. Kerjasama Perpustakaan meliputi Intern (dari pihak Perpustakaan) dan ekstern (dengan Lembaga Lain termasuk dengan Masyarakat) dengan tujuan peningkatan Pelayanan kepada Pemustaka.
  9. Bab XII tentang dewan perpustakaan yang terdiri dari 4 pasal penjelas yaitu pasal 44 hingga pasal 47.
  10. Bab XIII tentang pembudayaan kegemaran membaca yang terdiri dari 4 pasal pejelas yaitu pasal 48 hingga pasal 51. Perpustakaan berperan dalam mewujudkan Budaya Gemar membaca sehingga dapat terwujud masyarakat yang cerdas dan terampil termasuk juga langkah-langkah perpustakaan dalam meningkatkan minat baca masyarakat, Serta Peran Perpustakaan dalam memberantas Buta Huruf.
  11. Bab XIV tentang ketentuan sanksi yang di jelaskan di pasal 52. yaitu tentang sanksi yang diberikan pada perpustakaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana mestinya, sanksi tersebut diatur dalam peraturan pemerintah.
  12. Bab XV tentang ketentuan penutup yang terdiri dari 2 pasal yaitu pasal 53 dan 54.

Pendidikan karakter di Indonesia Bag. I

0 komentar

          Pendidikan karakter mengajarkan kebiasaan cara berpikir dan perilaku yang membantu individu untuk hidup dan bekerja bersama sebagai keluarga, masyarakat, dan bernegara dan membantu mereka untuk membuat keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan kata lain pendidikan karakter mengajarkan kepada siswa berpikir cerdas, mengaktivasi otak tengah secara alami (Yahya khan, 2010).
            Selanjutnya Yahya khan membagi pendidikan karakter menjadi 4 jenis sebagai berikut:
1.      Pendidikan karakter berbasis nilai religious, yang merupakan kebenaran wahyu Tuhan (konservasi moral)
2.      Pendidikan karakter berbasis nilai budaya, antara lain yang berupa budi pekerti, pancasila, apresiasi sastra, keteladanan tokoh-tokoh sejarah dan para pemimpin bangsa (konservasi teladan)
3.      Pendidikan karakter berbasis lingkungan ( konservasi lingkungan)
4.      Pendidikan karakter berbasis potensi diri, yaitu sikap pribadi, hasilproses kesadaran pemberdayaan potensi diri yang diarahkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan (konservasi humanis)
Pendidikan karakter berbasis potensi diri adalah proses kegiatan yang dilakukan dengan segala daya upaya (1) secara sadar dan terencana untuk mengarahkan anak didik agar mereka mampu mengatasi diri (2) melalui kebebasan (3) dan penalaran (4) serta mengembangkan segala potensi diri (5) yang dimiliki anak didik( Yahya Khan , 2010).
Pendidikan karakter berbasis potensi diri merupakan proses  kegiatan yang mengarah pada peningkatan kualitas pendidikan dan pengembangan budaya harmoni yang selalu mengajarkan, membimbing, dan membina setiap manusia untuk memiliki kompetensi intelektual (kognitif), karakter (Affevtive) dan kompetensi ketrampilan mekanik (Psychomotoric).
Saat ini pendidikan nilai perlu dan penting untuk ditawarkan kepada peserta didik untuk mengimbangi pembelajarn yang selama ini lebih berat kearah penguasaan kompetensi intelektual (kognitif). Pendidikan nilai adalah daya upaya untuk membina, membiasakan, mengembangkan dan membentuk sikap serta memperteguh watak untuk menjadi manusia yang erkarakter. Nilai adalah potensi yang dimiliki seorang manusia yang diperoleh melalui pembinaan, pembiasaan dan berkembang membentuk sikap serta memperteguh jiwa raga menjadi suatu karakter.
Gagasan dasar tentang Pendidikan Karakter secara umum sesungguhnya bukan hal yang baru bagi pembentukan watak di Indonesia. Pendidik modern Indonesia tempo dulu yang dikenal seperti R.A Kartini, Ki Hajar Dewantoro.Soekarno,Hatta,Tan Malaka,Moh.Natsir telah berdaya upaya untuk menerapkan Pendidikan Karakter sebagai sarana membentuk watak dan identitas bangsa Indonesia. Namun Pendidikan karakter di Indonesia belum ditangani secara serius. Hampir semua mata pelajaran/mata kuliah sampai saat ini mengevaluasi kompetensi kognitif, sedangkan evaluasi karakter (afektif) belum dikelola secara sungguh-sungguh (Yahya Khan,2010)

5 Masalah dasar manusia sebagai Pustakawanan

0 komentar

LIMA MASALAH DASAR KEHIDUPAN MANUSIA DALAM RUANG LINGKUP KEPUSTAKAWANAN

Di dalam buku Pengantar ilmu antropologi, C. Kluckhohn[1] yang dikutip oleh Koentjaraningrat mengatakan bahwa variasi jenis nilai budaya bertumpu pada lima masalah dasar kehidupan manusia, yaitu hakikat hidup manusia, karya manusia, kedudukan manusia dalam ruang waktu, hubungan manusia dengan alam sekitarnya, dan hubungan manusia dengan manusia lainnya.
Jika dikaitkan dengan dunia kepustakawanan, masalah dasar manusia yang pertama, yaitu mengenai hakikat hidup manusia, kebudayaan memandang bahwa untuk mencapai kehidupan yang lebih baik, manusia harus menambah ilmu pengetahuan yang umumnya dapat diperoleh malalui buku. Dengan membaca buku, manusia dapat menguasai rahasia alam dan lingkungannya, mengolah pengetahuannya tersebut untuk menjalani dan beradaptasi dalam kehidupan. Di dalam masyarakat, nilai tersebut muncul dalam bentuk peribahasa seperti carilah ilmu sampai ke negeri Cina atau bangsa yang besar adalah mereka yang memiliki informasi. Dalam diri manusia, baik yang berbudaya lisan maupun tulis, rasa ingin tahu sudah merupakan sifat dasar manusia. Oleh sebab itu, untuk memenuhi kebutuhan tersebut dalam ilmu perpustakaan, pengelolaan ilmu menggunakan pedoman yang merangkum seluruh bidang pengetahuan dalam 10 bagian, mulai dari pengetahuan umum (kelas 000), filsafat, agama, sosial, bahasa, ilmu terapan, seni, dan sejarah (kelas 900). Tambahan pula, ilmu perpustakaan dan informasi mengidentifikasi berbagai jenis perpustakaan, yaitu perpustakaan umum yang koleksinya mencakup semua bidang ilmu, perpustakaan khusus dengan koleksi khususnya sesuai bidang yang digeluti oleh lembaga induknya, perpustakaan sekolah maupun perguruan tinggi yang memiliki koleksi di bidang akademis, serta berbagai pusat informasi lainnya. Dengan berpijak pada tujuan pencapaian kehidupan yang lebih baik melalui buku ini, dunia perpustakaan memegang nilai-nilai budaya yang berupaya untuk melayani pemenuhan keinginantahuan masyarakat dengan memudahkan segala akses ke perpustakaan dan juga menumbuhkan dan meningkatkan minat baca masyarakat. Nilai budaya yang terlihat adalah nilai keingintahuan, pengembangan diri, dan lain sebagainya.
Dalam masalah dasar manusia yang kedua yaitu masalah hasil karya manusia dalam kepustakawanan, sistem nilai budaya berurusan terutama dengan karya tulis manusia. Sebagian besar kebudayaan, terutama dari masyarakat yang berbudaya baca-tulis, memandang bahwa buku merupakan sesuatu yang penting sebagai sumber ilmu pengetahuan, sumber kebenaran (sekaligus kebohongan). Bukan hanya penting dalam meningkatkan taraf hidup seseorang, tetapi dalam masa-masa tertentu dan masyarakat tertentu buku dianggap penting sebagai simbol status. Penghargaan pada buku, terlihat pada sistem konservasi dan pelestariannya. Dalam sistem tersebut, pustakawan menciptakan berbagai prosedur pengawetan, mulai dari kebersihan buku, cara memperlakukan buku, penyimpanan, pengalihbentukan, serta penyebarluasan isi buku. Penyebarluasan informasi menyangkut hak manusia memperoleh informasi dan masalah sensor.  
Pada masalah dasar ketiga, yaitu kedudukan manusia dalam ruang waktu, kebudayaan yang berkaitan dengan kepustakawanan memandang penting semua naskah baik yang berasal dari waktu lampau, kini dan masa yang akan datang. Orientasi waktu tersebut juga mempengaruhi pembagian subjek dalam klasifikasi, terutama yang berkaitan dengan buku-buku sejarah. Masalah ini juga mempengaruhi dalam sistem layanan dan rancangan gedung perpustakaan. Di masa yang lampau, perpustakaan melayani masyarakat dalam jumlah relatif sedikit, dengan kebutuhan informasi yang tidak begitu beragam, dan juga mengolah sumber informasi yang konvensional. Tetapi di masa kini, dengan kemajuan teknologi informasi yang demikian pesat, perpustakanaan dituntut melayani masyarakat majemuk dalam jumlah lebih banyak dengan kebutuhan informasi yang juga beragam, dari sumber informasi manual maupun elektronik.    
Masalah dasar hubungan manusia dengan alam sekitarnya, kepustakawanan memiliki kebudayaan yang sangat tergantung pada alam, karena berkaitan dengan kenyamanan yang diperlukan, baik bagi buku-buku atau koleksi lainnya di perpustakaan maupun kegiatan di perpustakaan. Bukan hanya iklim, udara dan kelembaban yang tidak sesuai yang dapat menimbulkan jamur sehingga memicu kerusakan buku, tetapi juga binatang, seperti tikus, rayap dan semut. Perpustakaan juga membuat berbagai peraturan dalam kegiatan rutin dan periodik, baik untuk pustakawan maupun pengguna perpustakaan, yang pada dasarnya untuk melindungi buku. Alam juga erat berkaitan dengan kegiatan yang terdapat dalam perpustakaan, yaitu mempengaruhi kinerja pustakawan dan mempengaruhi konsentrasi pada saat membaca. Selain merancang gedung yang bisa menghindari atau mengurangi ancaman alam, keindahan dan kenyamanan juga diprioritaskan. Lebih jau lagi, dalam banyak kebudayaan, kegiatan membaca dianggap sebagai ibadah. Salah satunya, ayat pertama dalam Kitab suci ajaran Islam mengharuskan umatnya membaca. Dengan demikian, nilai budaya di bagian ini mencakup nilai kebersihan, kedisiplinan, religius, keindahan, kenyamanan dan hidup selaras dengan alam.  
Terakhir, masalah hubungan manusia dengan manusia lainnya dalam kepustakawanan.difokuskan pada pustakawan. Sistem nilai budaya jelas terlihat pada kode etik pustakawan yang mementingkan etika layanan. Nilai budaya yang muncul adalah mementingkan kebutuhan masyarakat akan informasi, menjaga hubungan baik dengan masyarakat yang dilayani, juga menjaga hubungan antara sesama pustakawan. Nilai budaya yang terlihat adalah nilai kebersamaan, membantu sesama, keadilan, pendidikan, dan sebagainya. 



[1] Hal. 191.

Sejarah Tahun Masehi

0 komentar

KALENDER GREGORIAN (MASEHI)

Horeeee….Tahunnn Baruu,,,Happy New Yearss \(^__^)/. Ohh yaa pada tau enggak nih sejarahnya Tahun Masehi, padahal udah seneng banget ngerayain tahun baru tapi sejarahnya tahun masehi kagak tau,,,Okke dehh kali mimin akan ceritakan sejarahnya,,,cie,,cie :D
Kalender Gregorian atau kalender Masehi yang sekarang ini udah menjadi standard penghitungan hari internasional lhoo. Padahal awalnya kalender ini dipakai untuk menentukan jadwal kebaktian di gereja-gereja Katolik dan Protestan. Kalender Gregorian adalah kalender murni surya yang bertemu siklusnya pada tiap 400 tahun (146097 hari) sekali. Satu tahun normal panjangnya 365 hari, tiap bilangan tahun yang habis dibagi 4 tahunnya (Tahun Kabisat) memanjang menjadi 366 hari, namun tidak berlaku untuk kelipatan 100 tahun dan berlaku kembali tiap kelipatan 400 tahun. Sebagai contohnya tahun 2000 adalah tahun panjang (kabisat, leap year) sedangkan tahun 1900 tahun normal.
Kalau kita bagi 146097 hari dengan 400, didapatkan angka 365.2425, hampir mendekati daur waktu surya yaitu 365.2421896698 - 0.00000615359 T - 7.29E-10 T^2 + 2.64E-10 T^3 hari. Dengan demikian koreksi pengurangan akan terkumpul menjadi 1 hari setelah sekitar 2500 tahun sekali. Usulan mengenai kapan dilakukannya koreksi itu sudah sering dihembuskan, namun belum di-institusikan.
Kalender Gregorian ini sebenernya pembaruan dari kalender Julian. Dalam 16 abad pemakaian kalender Julian, titik balik surya sudah bergeser maju sekitar 10 hari dari yang biasanya ditengarai dengan tanggal 21 Maret tiap tahun. Hal ini membuat kacaunya penentuan hari raya Paskah yang bergantung kepada daur candra dan daur surya di titik balik tersebut. Nahh,,,dikhawatirkan Paskah akan semakin bergeser tidak lagi jatuh di musim semi untuk belahan bumi utara, serta semakin menjauhi peringatan hari pembebasan jaman Nabi Musa (penyeberangan laut merah).
Pemikiran tentang koreksi ini sebenarnya telah mulai dipergunjingkan dengan keluarnya tabel-tabel koreksi oleh gereja sejak jaman Paus Pius V pada tahun 1572. Dekrit rekomendasi baru dikeluarkan oleh penggantinya, yaitu Paus Gregorius XIII, dan disahkanlah pada tanggal 24 februari 1582. Isinya antara lain tentang koreksi daur tahun kabisat dan pengurangan 10 hari dari kalender Julian. Dengan demikian, tanggal 4 Oktober 1582 Julian, esoknya adalah tanggal 15 oktober 1582 Gregorian. Tangal 5 hingga 14 Oktober 1582 tidak pernah ada dalam sejarah kalender ini. Sejak saat itu, titik balik surya bisa kembali ditandai dengan tanggal 21 Maret tiap tahun, dan tabel bulan purnama yang baru disahkan untuk menentukan perayaan Paskah di seluruh dunia.
Pada mulanya kaum protestant tidak menyetujui reformasi Gregorian ini, baru pada abad berikutnya kalender itu diikuti. Dalam tubuh Katolik sendiri, kalangan gereja ortodox juga bersikeras untuk tetap mengikuti kalender Julian, namun pemerintahan demi pemerintahan mulai mengakui dan akhirnya pemakaiannya semakin meluas seperti yang kita lihat sekarang deh.