PERPUSTAKAAN NGUDI KAWRUH
Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image >

Pahlawan Modern

0 komentar

"Bukan cuma kepahlawanan yang menghancurkan musuh,
tapi juga yang mensejahterakan sesama."

(KEPAHLAWANAN YANG KREATIF)

Oleh: Bambang Utomo*)




    BANYAK orang berbicara--bahkan kerap berdebat--tentang berbagai hal, tanpa menyadari bahwa kata-kata yang dipakainya berbeda maknanya bagi masing-masing. Salah satu contohnya adalah arti kata 'pahlawan' – yang tetap relevan kita kaji-ulang setiap kali merayakan Hari Pahlawan 10 November di negeri kita.

Pertama, mari kita renungkan hakikat di balik ajakan berikut: "Saudara-saudara sekalian, marilah kita sejenak mengheningkan cipta--atau berdoa menurut agama masing-masing--bagi arwah para pahlawan yang telah gugur mendahului kita...."

Siapa di antara kita yang tidak ingat kalimat ajakan di atas? Hampir setiap kali menghadiri upacara resmi, ritual tersebut selalu termasuk paket acara perayaan yang bersangkutan. Namun tulisan ini bukan ingin mengajak para pembaca mengheningkan cipta, melainkan memikirkan ulang makna konsep kepahlawanan yang kita anut secara lebih kreatif. Keperluan terhadapnya muncul berhubung tersimak oleh saya betapa sangat terbatasnya kata 'kepahlawanan' itu diartikan orang selama ini.

Tersirat dalam ajakan mengheningkan cipta di atas suatu arah penafsiran, bahwa yang disebut ‘pahlawan’ terutama adalah mereka yang telah gugur atau anumerta. Tafsiran tersirat itu bahkan diperkuat lagi oleh ketetapan resmi tentang kriteria pahlawan sebagaimana tersurat dalam peraturan Pemerintah tentang Penetapan Penghargaan dan Pembinaan terhadap Pahlawan, yaitu:

1) Warga Negara Republik Indonesia yang telah meninggal dunia dan semasa hidupnya telah memimpin dan melakukan perjuangan bersenjata atau perjuangan politik atau perjuangan dalam bidang lain untuk mencapai/ merebut/ mempertahankan/ mengisi kemerdekaan serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa. Calon juga telah melahirkan gagasan atau pemikiran besar yang dapat menunjang pembangunan bangsa dan negara dan telah menghasilkan karya besar yang mendatangkan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat luas atau meningkatkan harkat dan martabat bangsa Indonesia.

2) Pengabdian dan perjuangan yang dilakukannya berlangsung hampir sepanjang hidupnya (tidak sesaat) dan melebihi tugas yang diembannya.

3) Perjuangan yang dilakukannya mempunyai jangkauan luas dan berdampak nasional.

4) Memiliki konsistensi jiwa dan semangat kebangsaan/ nasionalisme yang tinggi.

5) Memiliki akhlak dan moral keagamaan yang tinggi.

6) Tidak pernah menyerah pada lawan/ musuh dalam perjuangan.

7) Dalam riwayat hidupnya tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang dapat merusak nilai perjuangannya.

Di situ jelas disebutkan pada syarat pertama, "Warga Negara Republik Indonesia yang telah meninggal dunia dan semasa hidupnya telah memimpin dan melakukan perjuangan bersenjata atau perjuangan politik atau perjuangan dalam bidang lain untuk mencapai/merebut/mempertahankan/mengisi kemerdekaan serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa….”

Meskipun pahlawan bisa juga termasuk mereka yang masih hidup, yang tindak kepahlawanannya tidak ternoda sepanjang kehidupan selanjutnya, namun hanya mereka yang telah meninggal dunia yang lebih diakui sebagai pahlawan. Bisa Anda bayangkan, betapa sulitnya syarat menjadi ‘pahlawan’ di negeri kita.

Arah penafsiran kedua yang juga tersirat dalam ketetapan di atas tak kurang janggalnya. Yaitu bahwa: kepahlawanan cenderung dikaitkan dengan jatuhnya korban akibat upaya membela sesuatu pihak (negara atau bangsa), yang tentunya juga mengasumsikan kehadiran pihak lawan, serta pada gilirannya kegiatan
menghancur-leburkan musuh tersebut. Terkandung jelas dalam sebagian penafsiran tersebut adanya unsur konflik, atau situasi Menang-Kalah, di mana untuk bisa membuktikan kepahlawanan pihak KITA, diperlukan jatuhnya korban di pihak MEREKA!

Keadilan Tandingan

Mengenai arah penafsiran tersebut pertama, bahwa hanya mereka yang anumertalah yang pantas disebut pahlawan, ingin saya bandingkan dengan pengejawantahan konsep ‘keadilan’ yang umumnya kita anut. Ibarat mata uang, peradaban keadilan kita sejauh ini baru berkembang ke salah satu sisinya semata: menghukum barangsiapa yang bersalah kepada sesama. Ada pun sisi tandingannya, menghargai mereka yang berjasa kepada masyarakat, cenderung kita abaikan. Anda ingin bukti?

Coba ingat-ingat manakala ada maling tertangkap tangan di sekitar kita. Tidak sedikit saksi mata yang spontan ingin jadi Hakim, bahkan beramai-ramai jadi ’Algojo’ (yang luar biasa sadisnya!). Namun sebaliknya, kalau ada orang-orang yang terbukti berjasa kepada kita semua...jarang ada yang serta-merta memberi ganjaran. Ya, entah sejak kapan kita kenal dan terus kelola Lapas di Pulau Nusakambangan. Tapi mana ’Taman Firdaus’ yang kita sediakan khusus bagi pahlawan-pahlawan yang masih hidup di masyarakat? Bukan, sekali lagi, yang saya maksud bukan Taman Pahlawan bagi mereka yang telah gugur; yang sudah lama ada di mana-mana. Juga bukan jenis-jenis ’sorga dunia’ yang biasa kita jual—dengan harga sangat mahal--ke pihak mana pun yang sanggup bayar. Taman Firdaus yang hendak saya canangkan adalah semacam lembaga tandingan dari penjara, di mana anggota masyarakat yang terbukti berprestasi tinggi dapat berkumpul dalam suasana kehidupan yang menunjang pelestarian karya-karya sosial mereka secara optimal.

Tetapi di sini bukan tempatnya pula untuk melanjutkan khayalan di atas lebih jauh. Lontaran ide perlunya Taman Firdaus juga kita selenggarakan di dunia kini, bukan cuma menunggu apa yang dijanjikanNya di akhirat nanti, adalah untuk meninjau-ulang sikap masyarakat kita yang umumnya kurang berkenan terhadap penghargaan secara material kepada para pahlawan. Bahkan kita selalu diingatkan oleh nasehat leluhur: ”Berbuat baik itu harus ikhlas, tak boleh disertai pamrih duniawi apa pun (anehnya kalau harapan akan imbalan yang akhirati tidak dilarang)”. Padahal ilmu psikologi telah lama membuktikan, bahwa terlepas dari doktrin moral yang dianutnya, perilaku manusia senantiasa terikat pada kecenderungan ’mengejar-kenikmatan-dan-menjauhi penderitaan’ - secara Lahir maupun Bathin..Dengan kata lain, boleh-boleh saja kita menganugerahi seperangkat gelar kehormatan, menyematkan bintang dan tanda jasa, atau mengabadikan nama si pelaku sebagai nama jalan. Tapi kalau suatu bangsa sampai membiarkan para pahlawannya yang masih hidup ’kelaparan’--sengaja maupun alpa--jangan heran jika jumlah dan frekuensi tindak kepahlawanan yang terjadi di masyarakat yang bersangkutan semakin surut.

Sayang kita tidak tahu, karena sejarah belum pernah mencatat, berapa banyak pahlawan di sekitar kita yang terlanjur kecewa, dan lalu menghentikan prestasi sosialnya? Dan berapa yang kemudian berubah lugas sikapnya: memilih mengabdikan keunggulan kemampuannya bagi kepentingan pihak pemberi upah tertinggi - siapa pun adanya kaum majikan itu? Atau malah ’desersi’, pindah bermukim ke lingkungan masyarakat atau bangsa lain di mana prestasi sosial mereka secara layak dihargai, diakui peranannya serta ditunjang kelestariannya?

Kepahlawanan Baru

Kesimpulan pertama yang hendak saya tarik dari semua uraian di atas adalah: perlunya kita bersama-sama melengkapi, bukan mengganti, kecenderungan berpikir kritis yang telah begitu lama mewarnai tradisi intelektual kita dengan pemikiran kreatif. Hasil dari alternatif sudut pandang baru yang muncul diharapkan bisa kian memperkaya makna berbagai konsep yang kita anut, termasuk: kepahlawanan.

Kedua, melalui kesempatan ini pula saya ingin mengimbau kesukarelaan masyarakat luas untuk lebih menghargai para pahlawan yang masih hidup di antara kita; baik secara moril lewat pemberian berbagai tanda kehormatan, maupun tak kalah penting secara material. Pentingnya hal tersebut belakangan bukan sekadar untuk menjamin kehidupan yang layak bagi si pelaku berserta keluarganya, atau semata-mata hendak mencegah sang pahlawan kecewa dan lalu ’desersi’. Tapi justru demi melestarikan pretasi sosial itu sendiri. Jangan sampai kita lupa, bahwa para pahlawan itu adalah manusia-manusia yang masih hidup di dunia fana, belum kembali ke alam baka.

Sebagai penutup, berikut ini saya coba rangkum ciri-ciri konsep Kepahlawanan Baru yang saya canangkan di sepanjang tulisan di atas. Yaitu: kepahlawanan yang lebih mengutamakan perwujudan dan pelestarian berbagai prestasi sosial demi semakin memajukan (prosperity) kehidupan bersama, ketimbang sekedar menjaga kelangsungan hidup (survival) masyarakat. Kepahlawanan yang juga bisa berlangsung dalam situasi damai dan tidak mensyaratkan kehadiran musuh mana pun di mana semua pihak bakal memperoleh manfaat - lebih dari tipe kepahlawanan destruktif yang menuntut modus operandi situasi konflik serta jatuhnya korban di pihak musuh.

Kepahlawanan yang tidak mengecilkan nilai penghormatan terhadap para pahlawan yang sudah tiada, tapi memberi tempat selayaknya pula kepada mereka yang masih hidup - tanpa pandang bulu. Kepahlawanan yang menyadari perlunya keseimbangan antara pemberian simbol-simbol penghormatan di satu pihak, dengan jaminan hidup layak serta subsidi nyata untuk terus berkarya di pihak lain - demi melestarikan prestasi sosial yang bersangkutan. Dan yang terakhir--meski tak kalah penting--kepahlawanan yang tidak mengharapkan para pelakunya menjadi Superman tanpa cacat yang tak mungkin berbuat khilaf di kemudian hari, melainkan: manusia-manusia bersahaja yang senantiasa perlu dirangsang prestasi sosialnya.@

(KOMPAS, Selasa, 10 November 1987)


______________
Bambang Utomo adalah seorang penulis-lepas dan pemandu pelatihan/kursus ‘Berpikir Kreatif’ di Cianjur – Jawa Barat. Artikel daur-ulang ini adalah sumbangan pikiran dalam rangka ikut menyambut “Hari Pahlawan 10 November 2010”.